Rabu, 28 November 2012

Serial komik doyok



Aku sedang tidak membicarakan Doyok yang pelawak itu. Tetapi, Doyok yang kumaksud adalah seorang tokoh kartun ciptaan Keliek Siswoyo yang pernah menghiasi halaman harian Pos Kota sejak tahun 1978 yang lalu. Meski sekarang sudah tidak pernah kutemukan lagi, tapi dulu cerita Doyok ini nyaris mengisi hari-hariku.

Ketika itu aku kelas V SD. Papa membuat kandang ayam di halaman belakang rumah. Tujuannya, untuk mensuplai kebutuhan ayam di rumah makan kami. Kalau alasan lainnya, sudahlah pasti karena alasan ekonomi; menguasai dari hulu hingga hilir, halah!

Kandang-kandang itu terdiri dari lima kelompok. Yakni kelompok berdasarkan umur ayam-ayam tersebut; 1 hingga 5 minggu. Setiap kandang berisi 200 ayam. Pada minggu kelima, ayam-ayam tersebut sudah bisa dipanen.

Aku cukup antusias membantu Papa ketika itu. Setiap habis pulang sekolah, nyaris kuhabiskan waktuku untuk mengurusi ayam-ayam tersebut. Mulai dari mempersiapkan kandang untuk anak ayam yang baru datang sampai memberi vaksin ke hewan-hewan tersebut aku lakoni. Aku betul-betul menjalani pekerjaan itu dengan gembira. Apalagi aku mendapat upah dari pekerjaan itu, yakni bila ada tetangga yang membeli langsung ke kandang, seluruh uangnya untukku. Wah, betapa bahagianya diriku ketika menerima uang hasil jerih payahku…

Nah, salah satu kegiatan yang paling menyita waktuku adalah mempersiapkan kandang untuk bibit ayam yang baru kami beli. Kandang tersebut berukuran 3 x 3 meter, terdiri dari dua lantai. Masing-masing akan diisi 100 ekor anak ayam. Sebelum anak ayam dimasukkan ke sana, kandang sudah harus bersih dan steril. Setelah bersih dan steril, kandang dialasi sesuatu yang bisa membuat anak-anak ayam itu tetap hangat. Berbagai macam cara telah kami lakukan, hingga akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan koran bekas sebagai alas kandang tersebut.

Di sinilah perkenalanku dengan si Doyok yang kumaksud di atas. Koran-koran bekas tersebut dibeli Papaku dari pengepul barang bekas, lumayan banyak. Sebagian besar koran tersebut adalah harian Pos Kota dimana Doyok berada dalam rubrik Lembergar (Lembaran Bergambar Untuk Seluruh Keluarga).

Setiap kali aku bertugas mengalasi kandang dengan koran itu, aku tidak bisa menguasai diri untuk tidak membaca lembaran bergambar yang ada Doyok-nya. Karena koran bekas yang kumiliki cukup banyak, maka seringkali aku tidak bisa berhenti hanya pada satu serial. Rasa penasaran memaksaku untuk meneruskan membaca serial selanjutnya. Jadilah kegiatan mengalasi kandang ayam yang sebetulnya bisa selesai dalam beberapa menit, tertunda menjadi beberapa jam, hanya gara-gara aku keasyikan membaca Lembergar itu. Dan celakanya, kegiatan membaca itu aku lakukan di dalam kandang ayam! Please, jangan bilang siapa-siapa… malu! Hehehe…





Dulu aku memang tidak begitu memahami maksud dari cerita komik Doyok tersebut, selain hanya sekedar lucu dan menghibur. Tapi belakangan, aku mulai memahami mengapa komik itu disukai banyak orang dan awet hingga saat ini. Coba simak analisa Seno Gumira Ajidarma berikut ini:


Dialektika dalam cara berpikir Doyok, pada hemat saya, jauh lebih memikat ketimbang “analisis” para pengamat sosial politik karbitan, yang memanfaatkan media massa hanya sebagai anak tangga pendakian karier, dengan orientasi yang sama dengan seorang pesohor. Memiliki media adalah memiliki kekuasaan, karena kemampuannya melakukan dominasi pernyataan. Media yang canggih dan elit barangkali merasa memiliki kekuasaan karena telah mengemas berbagai pernyataan, tetapi fungsi sebuah media sebetulnya adalah lepasnya kekuasaan itu, untuk diserahkan kepada suara-suara komunitas yang melahirkannya. Hanya dengan begitu media menjadi media. Dalam strip komik Doyok, komentator selalu berganti-ganti. Kadang Doyok, yang kemudian ditinggal pergi; kadang pula entah siapa dari kaki lima, yang gantian ditinggalkan Doyok. Tidak terdapat dominasi pernyataan.

Bahwa Pos Kota didirikan oleh Harmoko, bagian tak terpisahkan dari Orde Baru, ternyata tidak mempengaruhi suara Doyok yang bermukim di Lembergar. Tentunya ada suatu cara untuk memisahkan fakta itu, dengan kerasnya suara Doyok di masa Reformasi, karena toh Doyok mendapatkan popularitasnya justru di masa Orde Baru, karena memang kritis. Ia tidak usah menunggu reformasi untuk menjadi kritis, karena kecenderungan kritisismenya yang memang moralis dan naif. Meskipun begitu, hal ini lebih baik ketimbang intelektualisme munafik para kritisi sosial politik karbitan, yang begitu pengecut di masa Orde Baru masih berkuasa, dan menjadi pahlawan kesiangan setelah Orde Baru jatuh. Ini juga suatu latar belakang yang membuat Doyok lebih bisa dihargai.

Doyok memang luar biasa. Di era kritik menjadi barang haram, dia justru berani muncul secara jenaka dengan kritiknya yang sangat tajam dan mudah dipahami. Kritiknya merupakan suara masyarakat bawah, yang saat ini menjadi komoditi kampanye para calon pemimpin negeri ini. Doyok tidak pernah meninggalkan “rakyat” meski dia sudah sangat sukses. Entahlah dengan calon pemimpin negeri ini nantinya, apakah akan tetap “merakyat” setelah sukses menjadi pemimpin…
Dan anak-anak SMAN 8 Tangerang menyukai serial kartun ini.


Source : http://hardivizon.com/2009/06/08/doyok/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar